Sekilas Sejarah

STAI Taswirul Afkar tidak bisa dilepaskan dengan nama angker dari Taswirul Afkar yakni sebuah perkumpulan hebat pada masanya yang melahirkan generasi-generasi terdidik hebat pula. Taswirul Afkar yang berarti gagasan pikiran adalah sebuah perkumpulan yang digawangi oleh Kiai-Kiai besar, tersebut di dalam sejarah Yayasan adalah KH. Achmad Dahlan Achyad, KH. Wahab Chasbullah, KH. Mas Mansyur, KH. Noer dan banyak Kiai-Kiai lain yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

Perjuangan pendidikan Islam di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari kebijakan pemerintah Belanda terhadap Indonesia. Pemerintah Kolonial Belanda memperkenalkan sekolah-sekolah modern menurut sistem persekolahan yang berkembang di dunia Barat ternyata juga berpengaruh terhadap lembaga pendidikan Indonesia yang tertua yakni Pesantren. Maka lembaga pendidikan di Indonesia terdikotomi menjadi dua, yakni: pertama pendidikan yang diberikan oleh sekolah Barat sekuler yang tidak mengenal ajaran agama, dan yang kedua adalah pendidikan yang diberikan oleh pondok pesantren yang hanya mengenal agama saja.

Dengan terdikotominya dunia pendidikan saat itu, tentu tidak akanmembawa maslahat apa-apa bagi perkembangan masyarakat Indonesia lebih-lebih masa akan datang, bahkan akan merugikan masyarakat muslim sendiri. Di satu sisi dipandang perlu mengetahui perkembangan dunia luar teknologi, di sisi lain juga diperlukan adanya pemahaman keagamaan yang menjadi pedoman dalam berkehidupan sehari-hari, mengingat rasa keagamaan bangsa Indonesia sungguh menggelora meskipun secara fisik mereka tertindas oleh imperalisme Belanda.

Masyarakat umum dari kalangan ekonomi bawah merasa terbuka memasuki pesantren. Namun bagi kalangan ekonomi atas lebih berminat pada sekolah-sekolah Belanda yang dikelola secaramodern. Lebih-lebih muncul stigma di pesantren hanya diajarkan materi-materi ukhrawi, sementara di sekolah Belanda diajarkan materi keterampilan duniawi, namun lagi-lagi hanya kalangan masyarakat tertentu saja yang dapat menikmatinya. Selebihnya rakyat Indonesia buta huruf tidak bisa baca tulis karena tidak bisa berkesempatan mengenyam pendidikan. Dalam kondisi seperti inilah yang diharapkan oleh pemerintah kolonial untuk membodohkan rakyat Indonesia agar terus melanggengkan imperialismenya.

Dalam kondisi seperti ini muncullah kesadaran dari ulama’-ulama’ yang pada saat itu merasakan bahwa perlu adanya gerakan untuk “melawan” tindak kolonialisme, lebih-lebih dalam masalah pendidikan Islam. Maka muncullah Nama-Nama seperti HOS Tjokroaminoto (melawan kolonialisme dengan politik), Kiai Dahlan Achyad, KH. Hasyim Asyari, KH. Wahab Chasbullah (melawan kolonialisme dengan kegiatan social keagamaan). Namun dari Nama-Nama tersebut tidak ada yang begitu serius untuk benarbenar berjuang di dunia pendidikan kecuali Kiai Dahlan Achyad.

Surabaya menjadi saksi perjuangan pendidikan Islam melalui kelompok diskusi keagamaan yang dinamakan Taswirul Afkar. Forum ini didirikan oleh KH. Wahab Chasbullah, KH. Mas Mansur, Kiai Dahlan Achyad dan Mangun. Taswirul Afkar adalah organisasi yang berdiri pada masa penjajahan, dan merupakan ide rakyat untuk membuat forum diskusi. Forum Taswirul Afkar didirikan dengan tujuan meraih kesepakan bersama dalam masalah sosial, pendidikan dan dakwah (namun lebih terkhusus pada pendidikan. Pen). Setelah itu berkembang menjadi sebuah lembaga yang mendidik rakyat tepatnya di Kebondalem, daerah Sunan Ampel Surabaya. Beberapa orang yang terlibat dalam pendirian Taswirul Afkar adalah orangorang penting dari berbagai organisasi di Indonesia, antara lain KH. Wahab Chasbullah yang berperan dalam pendirian NU, KH. Mas Mansur tokoh termasyhur organisasi Muhammadiyah, dan Kiai Dahlan Achyad sebagai pendiri organisasi MIAI. Bahkan pada penghujung perjalanannya Taswirul Afkar disebut-sebut menjadi cikal bakal berdirinya organisasi Nahdlatul Ulama‟.

Forum diskusi Taswirul Afkar pada mulanya sederhana, bersifat terbatas untuk kalangan tertentu. Kemudian seiring perkembangan waktu, Taswirul Afkar mulai diminati oleh pemuda. Kondisi ini dimanfaatkan untuk membina kontak antara sejumlah tokoh muda dengan tokoh agama dan tokoh intelektual. Taswirul Afkar berusaha mencari berbagai solusi keagamaan dalam kehidupan sehari-hari hingga merambah pada pembahasan politik perjuangan untuk mengusir penjajah. Namun sesuai dengan Namanya forum diskusi ini didirikan bukan untuk perjuangan dibidang politik melainkan dibidang pendidikan.

Empat Fase Taswirul Afkar

Fase yang pertama, Taswirul Afkar berupa kelompok diskusi. Pada fase ini Taswirul Afkar berdiri atas prakarsa dari tiga tokoh sentral di Surabaya yakni KH. Wahab Casbullah, KH. Dahlan Achyad, dan KH. Mas Mansyur pada tahun 1914. Taswirul Afkar saat itu menjadi wadah silaturrahmi ‘ulama’ Ahlussunnah Wa al-Jama‟ah untuk membangkitkan ghirah nasionalisme. Salah satu langkah konkrit dari kelompok diskusi ini adalah dibentuknya kelompok kerja yang di beri Nama Nahdlatul Wathan. Sesuai dengan Namanya, seperti gaung bersambut Nahdlatul Wathan mendapat sambutan hangat dari sejumlah tokoh masyarakat.

Fase kedua, Taswirul Afkar berupa Madrasah interdependen. Pada tahun 1918, Taswirul Afkar menjadi perhimpunan yang resmi bergerak di bidang pendidikan, namun berubah Nama menjadi Madrasah Islamiyah Surya Sumirat Afdeling Taswirul Afkar. Artinya pada tahun tersebut Taswirul Afkar bergabung dan menjadi cabang dari perkumpulan Surya Sumirat. Namun ini adalah siasat dari Kiai Dahlan dan kawan-kawan agar Taswirul Afkar mendapat ijin operasional dari pemerintah colonial.29 Pada fase kedua inilah Kiai Dahlan secara resmi menjadi pengelola dengan ditemani oleh Mangun, KH. Wahab Chasbullah dan KH. Mas Mansyur.

Pada fase kedua berlangsung pergolakan pemikiran antara KH. Wahab Chasbullah, dengan KH. Mas Mansyur. Perbedebatan keduanya berujung pada arah gerakan. KH. Wahab Chasbullah cenderung tawaduk dan mempertahankan ‘ulama’ salaf. Sedangkan KH. Mas Mansyur lebih konservatif pada gerakan yang diklaim pembaharuan oleh Muhammadiyah. Hingga pada tahun 1922 KH. Mas Mansyur meninggalkan Taswirul Afkar dan masuk pada Muhammadiyah. Dengan keluarnya KH. Mas Mansyur dari Taswirul Afkar, maka semakin jelaslah arah gerak pada pedoman perkumpulan ini memang benar-benar berkomitmen memegang teguh ajaran-ajaran ‘ulama’ salaf.

Ternyata bila ditelisik lebih jauh perdebatan tersebut bukan hanya antara dua tokoh tersebut namun meluas hingga ke tanah haram. Menanggapi isu tersebut Taswirul Afkar yang dikelola oleh Kiai Dahlan mengutus Kiai Wahab sebagai delegasi Kongres Al-Islam di Cirebon tanggal 31 Oktober – 2 Nopember 1922. Akhirnya pada tahun 1924 puncak dari komitmen Taswirul Afkar untuk mengawal ideologi Ahlussunnah Wa al Jama‟ah membentuk Komite Hijaz. Sebagai utusannya adalah Kiai Wahab dan Syaikh Ghanaim al-Mishri. Bertolak dari Komite Hijaz kemudian berdiri HBNO atau yang sekarang dikenal sebagai Nahdlatul Ulama‟.

Fase ketiga. Kegesitan Kiai Wahab dalam berorganisasi dan keahliannya melobi menjadikannya semakin sibuk sampai memaksanya tidak bisa berkecimpung dalam Taswirul Afkar terutama sekitar tahun 1929-1935. Alhasil Kiai Dahlan lah yang menjadi tokoh sentral pengelola Taswirul Afkar. Kesibukan Kiai Wahab pada ruang lingkup yang lebih besar mengantarkan Taswirul Afkar menuju fase ketiga. Tidak seperti fase kedua yang mana Taswirul Afkar masih mencari induk organisasi yang telah mendapatkan persetujuan dari pemerintah kolonial. Pada fase ketiga ini peran Kiai Dahlan lebih besar, disamping Kiai Wahab sudah tidak aktif lagi di Madrasah ini (Taswirul Afkar), Kiai Dahlan menjadi tokoh sentral Madrasah ini Perjuangan yang ditorehkan Kiai Dahlan untuk Taswirul Afkar pada fase ketiga adalah 1) membantu memperbanyak jumlah siswa, 2) membuka Syirkatul Amaliyah pada tahun 1918, 3) perizinan kepada Pemerintah Belanda tahun 1919, 4) membeli rumah di Ampel Suci, 5) membebaskan pajak Surya Sumirat Afdeling Taswirul Afkar sebagai lembaga yang diwakafkan,6) membagi tingkat kelas, 7) membuat kurikulum Madrasah.

Menilik dari perjuangan yang ditorehkan Kiai Dahlan untuk Taswirul Afkar pada fase ketiga terdapat dua garis besar. Pertama, perjuangan untuk membenahi permasalahan internal lembaga. Kedua perjuangan agar lembaga (Taswirul Afkar) bisa berdiri sendiri dibidang ekonomi. Dua perjuangan tersebut menunjukkan bahwa Kiai Dahlan benar-benar berkomitmen untuk terus mengawal Taswirul Afkar dan generasi bangsa ini agar benar-benar mengenyam pendidikan dengan layak.

Fase keempat adalah perjuangan menuju independensi. Usaha-usaha yang dilakukan oleh Kiai Dahlan untuk mengantarkan Taswirul Afkar menuju independesi adalah 1) pelepasan Nama Surya Sumirat pada tahun 1930, 2) membentuk NU cabang Taswirul Afkar, 3) membuat akta perjanjian wakaf tahun 1933, 4) mendirikan tiga bentuk madrasah, dan 5) meluaskan ruang gerak dakwah Taswirul Afkar. Perjuangan Kiai Dahlan pada fase keempat ini mengantarkan Taswirul Afkar menuju independensi. Kemandirian suatu lembaga menjadi unsur mutlak agar suatu lembaga dapat berjalan dengan semestinya. Seperti halnya Taswirul Afkar yang mulanya didirikan untuk mengawal ideologi Ahlussunnah wal Jama‟ah serta agar rakyat Indonesia dapat mengenyam pendidikan secara layak, tidak boleh tidak Taswirul Afkar berdiri pada kakinya sendiri. Semula Taswirul Afkar yang menginduk pada Surya Sumirat hanya siasat supaya Pemerintah colonial tidak menganggap Taswirul Afkar sebagai sekolah liar. Alhasil dalam perjalanannya siasat tersebut berhasil. Pemerintah Belanda memberikan kelonggaran terhadap sekolah liar pada tahun 1923-1929 hanya memberitahukan tujuan mendirikann sekolah liar secara tertulis kepada kepala daerah setempat. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Kiai Dahlan dan kawan-kawan, akhirnya pada tahun 1930 Taswirul Afkar resmi menjadi Madrasah yang independen tidak menginduk pada organisasi Surya Sumirat.

Perjuangan memperoleh independensi oleh Kiai Dahlan masih belum dianggap cukup untuk menjadikan Taswirul Afkar benar-benar mendidik rakyat dari berbagai kalangan. Kiai Dahlan dan kawan-kawan mengembangkan Madrasah menjadi tiga bentuk. Yakni: Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Al-Aitam dan Ibn Masakin.Dua bentuk madrasah yang sangat pro terhadap kaum mustad’afin adalah Madrasah Al-Aitam (untuk anak yatim) dan Ibn Masakin(untuk masyarakat miskin). Dua madrasah ini dikatakan pro terhadap kaum mustad’afin karena diselenggarakan dengan cumacuma. Murid-murid yang belajar pada dua madrasah itu tidak dipungut biaya, bahkan diberikan bantuan untuk membeli buku dan alat tulis. Penyelenggaraan dua madrasah tersebut yang gratis bahkan muridnya juga mendapatkan bantuan, bukan bukan sekedar ikhtiar yang biasa. Namun sekali lagi, jejak perjuangan tersebut memang menunjukkan tekad Kiai Dahlan ingin mencerdaskan rakyat melalui pendidikan.

INFO TERBARU

PSB 2024